-->

marquee

Tuesday, July 20, 2010

KH. R. Asnawi (Kudus)

Kyai Haji Raden Asnawi Kudus

Nama dan nasabnya

Kyai Haji Raden Asnawi, itulah nama yang digunakan setelah menunaikan ibadah haji yang ketiga hingga beiau wafat. Adapun nama sebeumnya adalah Raden Ahmad Syamsi, kemudian sesudah beliau menunaiakn ibadah haji yang pertama berganti nama menjadi Raden Haji Ilyas. Nama inilah yang terkenal di mekah.

K. H. R. Asnawi adalah putra pertama dari H. Abdullah Husnin, seorang pengusaha konveksi yang tergolong besar di daerah Kudus pada saat itu, sedang Ibunya bernama R. Sarbinah.

K. H. R. Asnawi lahir di kampung Damaran, Kudus pada tahun 1218 H (± 1861 M). beliau termasuk keturunan ke-14 dari Sunan Kudus (Raden Sayyid Ja'far Shodiq) dan keturunan ke-5 dari K. H mutamakin seorang wali yang termasyhur di desa Kajen, Margoyoso-Pati, yang hidup di zaman Sultan Agung matarm.

Masa Muda Beliau

Sejak kecil beiau dididik oleh orang tuanya sendiri, terutama dalam mengaji Al Qur'an. Setelah berumur 15 tahun beliau diajak orang tuanya ke Tulung Agung – jawa Timur untuk belajar mengaji sambil berdangang.

Sesudah mendapat asuhan dan didikan dari orang tuanya, kemudian beliau mengaji di Pondok Pesantren Tulung Agung, lalu beliau berguru kepada Kyai H. Irsyad dan Naib, mayong – Jepara sebelum pergi menunaikan ibadah haji.

Menunaikan Ibadah Haji

Sewaktu umur 25 tahun beliau menunaikan ibadah haji yang pertama, sepulangnya dari Mekkah, beiau mulai mengajar dan melakukan tabligh agama, diantaranya setiap hari Jum'at Pahing sesudah sholat Jum'at, beliau mengajar ilmu tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak 18 KM dari kota Kudus dan ini semua dilakukan dengan berjalan kaki. Beliau berkeliling masjid-masjid sekitar kota bila melakukan shlat subuh. Kira-kira umur 30 tahun beliau diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat bermukim di Tanah Suci. Di saat melakukan ibadah haji, ayahnya berpulang kerahmatullah, meskipun demikian niat bermukim di Tanah Suci diteruskan selama 20 tahun. Selama di Mekkah beliau berguru kepada Sholeh Darat – Semarang, K. H. Mahfudz Termas dan Sayyid umar Shatha

Selama itu beliau pernah beberapa kali pulang ke Kudus untuk menjenguk Ibunya yang masih hidup bersama adiknya H. Dimyati, yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu beiau kembai ke Tanah Suci untuk meneruskan cita-citanya.

Mukim Di Tanah Suci

Semula beliau tinggal di rumah Syekh Hamid Manan Kudus, kemudian setelah menikah dengan Ibu Nyai Hajjah Hamdanah (janda Almaghfurlah Kyai Nawawi Banten), beliau pindah tempat di kampung Syamiah – Mekkah dengan dikarunia 9 anak, tetapi yang hidup sampai tua hanya 3 orang, yakni: H. Zuhri, H. Azizah istri K. H. Shaleh Tayu dan Alawiyah istri R. Maskub Kudus.

Selama bermukim di Tanah Suci, disanping menunaikan kewajiban sebagi kepala keluarga, beliau masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama dengan para Ulama Besar, baik dari tanah Jawa maupun dari Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumahnya, diantaranya yang ikut belajar antara lain: K. H Abdul Wahab Hasbullah Jombang, K. H Bisri Syamsuri Jombang, K. H Dahlan Pekalongan, KH. Mufid Kudus dan Kh. A. Mukhiat Sidoarjo.

Selain beajar dan mengajar agam Islam, beliau turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang komisaris SI (Syariat Islam) di Mekkah, bersama dengan kawanya yang lain.

Pada waktu beliau bermukim di Mekkah, beiau pernah mengadakan tukar pengalaman dengan aslah seorang ulam besar, Mufti Mekkah bernama Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, tentang beberapa masalah keagamaan. Pembahsan ini dilakukan secara tertulis dari awal masalah hingga akkhir , meskipun tidak menghasikan kesepakatan pendapat antara kedua beah pihak.

Karenan tidak mendapatakan kesepakatan itu beliau bermaksud ingin memperoleh fatwa dari seorang Mufti di Mesir, maka semua catatan, tulisan beliau dan Syekh Ahmad khatib tersebut dikirim ke alamat Sayyid Husain Bek seorang Mufti di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir tersebut tidak sanggup memberi ifta'nya (saying, catatan-catatan itu ketinggalan di Mekkah bersama kitab-kitabnya dan saying keluarga KH. R Asnawi lupa masalah apa yang dibahas beiau, meskipun sudah diberitahu)

Setelah mereka membaca tulisan dan jawaban beliau terhadap tulisan Syekh Ahmad Khatib itu, tertariklah hati Sayyid husain Bek untuk berkenalan dengan beliau. Karenanya maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syekh Hamid Manan untuk diperkenalkan kepada KH. Asnawi. Oleh Syekh Hamid Manan, maksud ini disampaikan kepada beiau dan diatur agar beliau nanti yang melayani mengeluarkan jamuan dan disepakati waktu perjumpaan sesudah sholat jum'at di rumah Syekh Hamid Manan.

Sesudah sholat jum'at datanglah Sayyid Husain Bek ke rumah Syekh Hamid Manan dan sesuai kesepakatan KH. Asnawi sendiri yang melayani mengeluarkan minuman. Sesudah bercakap-cakap. Bertanyaah tamuitu: "fin Asnawi?" (dimana Asnawi?), Asnawi? Hadza huwa (Asnawi? Inilah dia) sambil menunjuk beiau yang sedang duduk di pojok, mendengarkan percakapan tamu dengan tuan rumah.

Setelah ditunjukan, Mufti Segera berdiri dan mendekati beliau, seraya mebuka kopiah dan diciumlah kepala beliau sambil berkenalan. Seteah itu Mufti Syekh Husain Bek berkata kepada Syekh Hamid Manan: "sungguh saya teah salah sangka, setelah beerkenalan dengan Asnawi. Saya mengira tidaklah demikian…" melihat jasmaniahnya yang kecil.

Pada tahun 1916 beliau pulang ke tanah air (Kudus), kemudian beliau mengadakan seilaturrahim dengan kawan-kawannya, antara lain: Bapak Sema'un. H. Agus Salim, HOS Cokroaminoto dan lain-lain dari took SI.

Beliau berangkat sendiri, sedang anak dan istri beliau ditinggal di Mekkah. Sesampaiknya di Kudus beiau berasama kawan-kawannya mendirikan madrasah, yang diberi nama Madarasah Qudsiyyah dan tidak ama kemudian dilakukan pembangunan Masjid Menara Kudus yang dikerjakan secara gotong-royong. Pada malam hari para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir ke kaigelis untuk dikerjakan siang harinya.

Ditengah-tengah pelaksanaan pebangunan itu, terjadi peristiwa huru-hara di Kudus pada tahun 1918, dimana beiau bersama kawan-kawannya terpaksa menghadapi tantangan kaki-tangan kaum penjajah yang menghina Islam. Itu sebabnya niat kembai ke Tanah Suci menjadi gaga, sedang anak dan istrinya masih berada di Mekkah.

Huru-Hara Kudus

Ditengah-tengah umat musim yang sedanga bergotong-royong membangun Masjid Menara Kudus, orang-orang Cina bersiap mengadakan pawai yang rencananya akan melewati Masjid Menara Kudus. Ulama dan para pemimpin Islam mengirim surat kepada pemimpin Cina, agar tidak menjalankan pawainya di depan Masjid Menara Kudus mengingat banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari

. permintaan itu ternyata tidak diharaukan, bahkan dalam pawai itu ada adegan dua orang cina yang memakai pakaian haji sambil memeluk seorang wanit yang berpakaian seperti wanita nakal, orang awam menamakan cengge.

Arak-arakan pawai Cina tetap melewati depan Masjid Menara Kudus, menuju ke selatran yang kemudian berpapasan dengan santri-santri yang sedang mengambil batu dan pasir, kedua belah pihak tidak ada yang mau mundur. Akhirnya seorang santri yang menarik gerobak dipukul oleh orang Cina. Adanya pemukulan yang dilakukan oleh orang Cina, ditambah lagi adanya cengge yang menusuk perasaan uamt Islam, maka benturan keduanya tidak dapat dihindarakan dari pertikaian.

Sekalipun pertikaian ini dapat dihentikan dan selanjutnya diadakan perdamaian, namun orang-orang cina belum mau menunjukan sikap damai, bahkan masih sering melontarkan ejekan terhadap orang-orang yang tengah mengambil pasir dan batu sepanjang jalan dari kaligelis sampai ke Masjid Menara Kudus. Karena itulah orang-orang Islam terpaksa mengadakan perlawanan terhadap penghinaan dan ejekan dari orang-orang Cina tersebut.

Para Uama memandang cukup beralasan untuk menyetujui ada penyerangan pembelaan, tetapi tidak mengijinkan dan bahkan melarang pembunuhan terhadap orang-orang Cina, pembakaran rumah maupun perampasan barang-barang milik orang-orang Cina, tetapi ada pihak ketiga yang memanfatkan kesempatan untuk mengambil barang-barang orang Cina. Tersentuhnya lampu gas pom saat kerusuhan itu terjadi menimbulkan kebakaran hebat beberapa rumah, baik milik orang Cina maupun orang Jawa.

Dengan dalih telah melakukan perusakan dan perampasan, pemerintah penjajah melakukan penangkapan dan menahan KH. R Asnawi yang dituduh sebagai salah satu penggerak. Beiliau dituntu hukuman penjara selama 3 tahun. Semula di penjara di Kudus, kemudian dipindahkan ke Semarang bersama-sama dengan KH. Ahmad Kamal Damaran dan KH. Mufid sunggingan dll.

Selama Dalam Penjara

Pada saat di penjara, istri beliau (Nyai Hj. Hamdanah) berserta ketiga putra-putri beliau datang dari ke Kudus. Menurut cerita beliau, selama berada di dalam penjara Kudus pada setiap malam Jum'at, beliau selalu mengadakan berjanjen (membaca kita Al Barjanji) bersama-sama dengan penghuni penjara yang lain dan selalu mengadakan sholat berjama'ah lima waktu. Di samping itu beliau empat menerjemahkan kitab Ajrumiyah (ilmu nahwu) ke dalam bahasa Jawa, sayangnya karangan tersebut belum sempat dicetak dan disebar-luaskan.

Sesudah Keluar Dari Penjara

Sebagai seorang yang memiliki jiwa pejuang, setelah keluar dari penjara, beiau langsung terjun di tengah masyarakat untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang pemimpin masyarakat, diantaranya dengan berda'wah mengajar ilmu agama dan melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar. Diantara ilmu yang diutamakan oleh beliau adalah Tauhid dan Fiqih.

Pada tahun 1927 beliau mendirikan sebuah Pondok Pesantren yang dibangun di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih serta mendapat dukungan dari para dermawan dan umat Islam di kudus. Kegiatan beliau dalam melaksanakan tabligh tidak tebatas di daerah Kaupaten Kudus saja, melainkan meluas hingga sampai ke daerah-daerah lain untuk menyebarkan aqidah Ahlu Sunah Wal Jama'ah, antara ain hingga ke daerah Tegal, Pekalongan, Cepu dan Blora. Demikian halnya dalam mengadakan pengajian meliputi daerah Demak, Jepara dan Kudus.

Di pondok pesantren beliau sendiri setiap tanggal 14 bulan Hijriyah diadakan majelis ta'lim yang disebut "patbelasan", ribuan umat Islam mendatangai majelis tersebut.. saying majelis tersebut terhenti karena dihapus oleh pemerintah penjajahan Jepang. Sssetiap tanggal 29 Rabi'ul awal beliau menyelenggarakan peringatan mauled Nabi Agung Muhammad SAW, bersamaan dengan majelis khataman Al Qur'an baik binnadhar maupun bil-ghaib yang diasuh oleh putra beliau (HM. Zuhri).

Disamping melayani kebutuhan para santri yang ada di Pondok Pesantren tentang pengajian kitab, secara khusus beliau juga mengadakan wiridan, antara lain: tafsir Jalalain dalam bulan Ramadhan di Pondok Pesantren Bendan-Kudus. Khataman kitab Bidayatul hidayah dan Al Hikam.dalam bulan Ramadhan di tajuk makam Sunan kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap ba'da sholat subuh seama bulan Ramadhan bertempat di Masjid Al Aqsha. Kauman-Kudus. Sampai wafat beliau, kitab ini masih belum khatam dan dilanjutkan oleh Al hafidz KH. M. Arwani Amin sampai khatam.

Sesudah selesai mendirikan Pondok Pesantren pada tahun 1927 M, pernah datang ke rumah beliau seorang tokoh Belanda yang faham tentang agam Islam bernama Van Der Plas dan menyampaikan maksud tujuannya. Adapun tujuan Van Der Plas adalah bermaksud agara beliau bersedia memangku jabatan sebagai penghulu di Daerah Kudus. Secara tegas beliau menolak tawaran itu, sebab jika diangkat sebagai penghulu, maka beliau tidak bisa bebas melakukan amar ma'ruf nahi munkar terhadap para pejabat.

Kegemaran Beliau

Pada masa hidupnya beliau sangat gemar melakukan silaturrahim, baik di tempat yang dekat maupun yang jauh sekalipun. Baik terhadap orang tua, maupun orang yang lebih muda.

Amar ma'ruf nahi munkar, terhadap siapapun, terutama terhadap keluarga beliau sendiri.

Ringan tangan bila diundang, asal undangan tersebut tidak melanggar syara'. Setiap tahunnya, apabila tidak ada halangan beliau selalu menyempatkan diri untuk menghadiri acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Habib Aly Al Habsyi, Kwitang-Jakarta. Pernah beliau berpesan: "apabila ada orang yang minta tolong dana ada kemampuan untuk melaksanakan permintaan itu, maka penuilah permintaan tersebut. Sebab Allah SWT akan menolongmu"

Selalu memberikan nasehat kepada siapa saja terutama kepada anak dan cucu beliau. Saat berpidato suarannya lantang, sekalipun pahit, keras dan tegas sesuai dengan ajaran syariat.

Perjuangan Beliau

Pada tahun 1924 M beliau bertemu dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang untuk mengadakan musyawarah membahas pembuatan benteng pertahanan aqidah Ahlusunnah Wal Jama'ah. Akhirnya beliau menyetujui gagasan tersebut dan selanjutnya bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada tangggal 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M, sepakat mendirikan jam'iyah Nahdhatul Ulama.

Pada zaman Belandan, beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di daerah Kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang, beliau pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya beliau dibawa ke markas Ketampai di Pati.

Pada zaman awal revolusi kemerdekaan terutama pada masa menjelang agresi militer Belanda I, beliau mengadakan gerakan ruhaniah dengan membaca Sholawat Nariyah serta ado'a surat Al Fil. Tidakj sedikit para pemuda yang tergabung dalam lascar bersenjata, datang bersilaturrahim kepada beliau untuk mendapatkan bekal ruhaniah sebelum berangkat berperang ke Genuk ,Alastuo dll.

Oleh Bupati Kudus, Raden Subarkah, beliau pernah diminta menempati Pendopo Kabupaten sebagai tempat pengajian dan permintaan tersebut disambut baik oleh beliau. Majelis Pengajian Umum yang masih berjalan hingga sekarang antara lain: Sanganan di Masjid Agung Kauman Wetan dan Pitulasan yang bertempat di Masjid Menara Kudus. Pondok Pesantren beliau masih berjalan untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan beliau.

Keluarga Beliau

Sesudah menunaikan ibadah haji yang pertama, beliau menikah dengan putrid KH. Abdullah Faqih, Langgar Dalem-Kudus yang bernama Mudasih dan dianugerahi 2 orang putra, yakni:

1. HM. Zaini (mempunyai 5 orang anak)

2. Masy'ari (mempunyai 2 orang anak)

Pada waktu bermukim di Mekkah, belia menikah untuk yang kedua kalinya dengan Nyai Hj. Hamdanah (janda almarhum Syekh Nawawi Banten) dan dianugerahi 3 orang anak, yakni:

1. HM. Zuhri (mempunyai 5 orang anak)

2. H. Azizah (istri KH. Saleh Tayu)

3. Alawaiyah (mempunyai 6 orang anak)

Sewaktu kembali ke Kudus pada tahun 1916 M, beliau dinikahkan dengan anak keponakan Khatib Khair di Kudus beranama Sbandiyah, tetapi tidak dikaruniai seorang anak pun hingga wafat. Kemudian beliau menikah dengan Ibu Muthi'ah dan dikaruniai 2 orang anak:

1. Siti Budur

2. K. Mufadh

Beliau juga pernah menikah dengan Ibu Munijah Damaran, namun tidak dikaruniai seorang anak pun. Sewaktu beliau wafat, meninggalkan 3 orang istri, 5 orang anak, 23 cucu dan 18 cicit

Kepulangan KH. R. Asnawi Ke Rahmatullah

Hari Sabtu Kliwon tanggal 25 Jumadil Akhir 1378 H, bertepatan dengan tanggal 26 Desember 1959 M, tepatnya jam 03: 00 WIB beliau dipanggil untuk berpulang ke Rahmatullah. KH. R Asnawi adalah seorang ulama besar dan salah satu pendiri jam'iyah Nahdhatul Ulama, beliau wafat pada usia 98 tahun.

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.